Menggali Makna Baiat Kubro: Momentum Spiritualitas Bersama Habib Luthfi bin Yahya di Masjid Istiqlal

Ribuan jamaah dari berbagai penjuru Nusantara akan memadati Masjid Istiqlal Jakarta dalam acara Baiat Kubro, yang dipimpin langsung oleh Guru sekaligus Ketua Forum Sufi Dunia, Maulana al-Habib Luthfi bin Yahya. Kegiatan akbar ini menjadi momentum kebangkitan spiritual sekaligus penguatan ikatan batiniah antara murid dengan mursyid dalam tradisi tasawuf yang telah berakar dalam sejarah Islam di Indonesia (Azra, 2018).
Baiat atau janji setia kepada mursyid adalah praktik yang memiliki akar panjang dalam perkembangan tarekat. Dalam khazanah tasawuf, baiat bermakna pengakuan secara lahir dan batin bahwa seseorang bertekad menempuh jalan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan mendekatkan diri kepada Allah melalui bimbingan seorang guru yang memiliki sanad ilmu yang sahih (silsilah muttashilah). Baiat tidak hanya menjadi simbol ikatan formal, tetapi juga peneguhan tekad untuk disiplin dalam dzikir, amal saleh, dan penjagaan adab (Azra, 2018).
Dalam konteks Tarekat, baiat dilakukan melalui prosesi pengucapan kalimat syahadat, pembacaan kalimat talqin dzikir yang akan diamalkan secara istiqamah, serta sumpah kesetiaan untuk mengikuti arahan mursyid dalam menempuh suluk. Habib Luthfi bin Yahya dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa baiat bukanlah praktik yang terputus dari syariat Islam. Sebaliknya, ia merupakan sarana untuk meneguhkan akhlak mulia dan menguatkan dimensi ihsan dalam beragama.
Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, perkembangan tarekat di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh ulama-ulama besar yang membawa ajaran tasawuf sejak abad ke-16. Pendekatan spiritual yang menekankan ketenangan hati, etika sosial, dan cinta damai telah membentuk corak Islam Nusantara yang moderat dan penuh toleransi. Dalam konteks saat ini, di mana masyarakat dihadapkan pada tantangan individualisme dan krisis spiritual, tarekat memegang peran signifikan dalam mengembalikan keseimbangan rohani umat (Azra, 2018).
Mengapa Disebut Baiat Kubro?
Kata Kubro berarti besar atau agung. Baiat Kubro mengandung makna baiat berskala luas yang melibatkan jamaah dari berbagai daerah, bukan hanya baiat individu atau kelompok kecil. Secara umum, baiat dilakukan secara personal antara seorang mursyid dengan muridnya. Namun, Baiat Kubro memberi kesempatan bagi ribuan jamaah untuk bersama-sama memperbaharui janji setia menempuh jalan tarekat. Kegiatan semacam ini juga menjadi sarana silaturahmi antartarekat muktabarah dan mempererat ukhuwah Islamiyah.
Selain dimensi spiritual, Baiat Kubro juga mengandung nilai kebangsaan yang kuat. Kehadiran ribuan jamaah dari berbagai latar belakang etnis dan budaya mencerminkan potret keberagaman yang harmonis. Tarekat bukan hanya sarana mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga instrumen merawat persatuan bangsa. Dalam tausiyahnya, Habib Luthfi bin Yahya kerap menekankan pentingnya mencintai Indonesia sebagai amanah yang tidak terpisah dari pengamalan iman.
Tarekat Sebagai Modal Sosial dan Budaya
Dalam perspektif antropologi agama, tarekat tidak hanya dipahami sebagai praktik ritual-spiritual semata, melainkan juga sebagai modal sosial dan budaya (Geertz, 1960). Struktur tarekat dengan mursyid dan para murid membentuk jaringan kepercayaan (trust network) yang kokoh, menjadi sumber solidaritas, dan pengendalian diri. Relasi spiritual antara mursyid dan murid membentuk habitus etika kolektif yang menekankan pentingnya ukhuwah, tawadhu’, serta keterikatan pada nilai-nilai moral.
Kajian Clifford Geertz dalam The Religion of Java menunjukkan bagaimana tarekat di Jawa memainkan peran ganda, sebagai penyangga spiritual sekaligus penjaga harmoni sosial di tingkat komunitas (Geertz, 1960). Dalam konteks kontemporer, di mana masyarakat menghadapi arus globalisasi dan gempuran nilai-nilai materialisme, tarekat hadir sebagai ruang kontemplasi dan penyeimbang dinamika modernitas.
Tantangan tarekat hari ini tidak hanya pada aspek regenerasi murid, tetapi juga bagaimana menjawab kebutuhan spiritual generasi muda yang hidup di era digital. Baiat Kubro menjadi momentum penting untuk merawat tradisi, tetapi juga harus diikuti dengan inovasi dakwah digital. Habib Luthfi, misalnya, aktif menggunakan media sosial untuk menyiarkan pesan-pesan perdamaian, kebangsaan, dan nilai tasawuf secara lebih luas.
Para mursyid dan penggerak tarekat dituntut adaptif, memanfaatkan teknologi sebagai jembatan dakwah yang mampu menjangkau generasi Z dan millennials yang haus makna, tetapi kerap terputus dari nilai spiritual tradisional. Penguatan literasi tarekat di media sosial, kajian daring, hingga live streaming acara Baiat Kubro adalah contoh upaya kontekstualisasi tasawuf di era transformasi digital (Zamakhsyari Dhofier, 1994).
Baiat Kubro di Masjid Istiqlal bukan sekadar seremoni spiritual, tetapi peneguhan komitmen bersama untuk menjaga warisan tarekat sebagai jantung spiritual Islam Nusantara. Di tengah keragaman budaya dan dinamika global, tarekat tetap menjadi rumah bagi nilai-nilai kesederhanaan, persaudaraan, dan kecintaan pada tanah air.
Dengan semangat kebersamaan, keikhlasan, dan cinta damai, Baiat Kubro membuktikan bahwa Islam Nusantara memiliki energi kebudayaan yang mampu menyejukkan hati, merajut persatuan, dan memperkuat ikatan spiritual antara murid dan mursyid. Sebuah ikhtiar kolektif untuk menghadirkan Islam yang ramah, membumi, dan selaras dengan cita-cita kemanusiaan universal. Wallahu a’lam.
Penulis: Warto’i, S.Ag., M.Si.
Dosen Antropologi Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta
Apa Reaksi Anda?






